Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI Penny K. Lukito pada Selasa (22/11/2023), menjelaskan bahwa kebutuhan produk darah terus meningkat, baik di Indonesia maupun global.
Kebutuhan produk plasma di Indonesia mencapai Rp1,15 Triliun (USD 733,2 juta), namun seluruh produk derivat plasma yang digunakan tersebut masih merupakan produk impor dengan nilai pembelian yang tinggi.
Berkaca dari pandemi COVID-19, Penny menggarisbawahi bahwa aspek kemandirian sangat diutamakan agar tidak bergantung dengan produk impor, termasuk pada plasma darah.
“Kemandirian produk darah dalam negeri sangat memerlukan bahan baku utama yang bersumber dari UTD yang telah bersertifikasi Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB),” ucapnya.
“Indonesia dengan penduduk sebanyak 275 juta jiwa sangat berpotensial memiliki sumber daya darah yang berlimpah dalam rangka memenuhi kebutuhan plasma darah. Tidak hanya untuk penggunaan dalam negeri, namun juga nantinya dapat ditujukan untuk keperluan ekspor.”
Kurangi Impor Produk Darah
Ketua Umum PMI Jusuf Kalla menambahkan, terkait kapasitas industri farmasi dalam negeri yang harus sudah mumpuni dalam melakukan fraksionasi plasma.
“Hal ini sesuai instruksi presiden untuk mengurangi impor produk darah. Industri farmasi lokal sudah siap bekerja sama, dengan didukung oleh teknologi, tentunya sesuai dengan CPOB yang dipersyaratkan oleh BPOM,” tambahnya.
“Namun untuk saat ini, kita masih terkendala hambatan yang harus melibatkan BUMN dalam prosesnya.”