Liputan6.com, Jakarta – Gaslighting adalah bentuk manipulasi psikologis yang berulang dari waktu ke waktu, di mana seseorang, yang (lebih kuat dan dominan) gaslighter, bersikeras bahwa caranya melihat sesuatu adalah yang benar, menurut Washington Post. Di sisi lain, korban (gaslightee) meragukan realitas, karakter, bahkan kewarasannya.
Umumnya, seseorang akan mengasosiasikan gaslighting dengan hubungan romantis saja. Faktanya, dinamika interpersonal yang dialami saat dewasa sangat dipengaruhi oleh hubungan yang dimiliki seseorang sejak masa kanak-kanak.
Seringkali, seseorang tumbuh menjadi orang yang mengikuti omongan orang lain dan lupa siapa dirinya sebenarnya. Gaslighting dapat disamarkan sebagai mematuhi atau bekerja sama dengan orang lain, dalam konteks ini, misalnya dengan orang tua.
Jika gaslighting menjadi dinamika inti dalam suatu hubungan, maka tidak ada keamanan psikologis. Terutama dalam sebuah keluarga, gaslighting dapat menyebabkan kerusakan yang sangat besar.
Apalagi gaslighting cukup membingungkan, karena kamu pasti berpikir kenapa orang yang kamu cintai berusaha membuatmu meragukan dirimu sendiri, bukan?
Misalnya, seorang adik yang baru bertemu dengan kakaknya tiba-tiba merasa kurang dan minder.
Ini karena ketika kakak perempuannya mengatakan hal-hal yang merendahkan, apakah itu tentang makanan yang disajikan, pakaian yang dia kenakan atau teman yang bergaul dengannya, dia akan mulai mempertanyakan pengambilan keputusannya dan percaya bahwa entah bagaimana dia belum mempelajari cara yang benar untuk melakukan sesuatu.