Liputan6.com, Jakarta Akhir Agustus 2023, virus COVID-19 varian BA.2.86 atau yang disebut Pirola menjadi sorotan global. Para peneliti pun tengah memberi perhatian lebih terhadap varian virus COVID-19 yang punya mutasi jauh lebih tinggi daripada subvarian Omicron sebelumnya ini.
Menurut database GISAID per 4 September 2023, Pirola sudah terdeteksi di 9 negara. Diantaranya di Denmark, Swedia, Israel, Portugal, Inggris dan Amerika Serikat.
Lalu, kasus infeksi akibat Pirola memang belum banyak (32 kasus dilaporkan ke GISADI) tapi varian ini jadi sorotan lantaran sangat bermutasi. World Health Organization (WHO) pada 17 Agustus menyebut BA.2.86 sebagai Variant Under Monitoring lantaran begitu tingginya mutasi pada Pirola.
Data di jurnal medis The BMJ 24 Agustus 2023 menunjukkan BA.2.86 memiliki 34 lebih banyak mutasi dibandingkan BA.2. Seperti diketahui, BA.2 yang menyebabkan lonjakan kasus COVID-19 pada tahun 2022.
Lalu, Pirola juga punya 36 lebih banyak mutasi dibandingkan XBB.1, yang dengan cepat mengambil alih kasus di Amerika Serikat pada awal tahun 2023.
Melihat data ini, memang seberapa berbahaya Pirola? Berikut fakta tentang BA.2.86 seperti mengutip laman Today.
1. Pirola Terdeteksi Pertama Kali pada Juli
BA.2.86 pertama kali terdeteksi pada Juli. Sejak saat itu menyebabkan infeksi pada puluhan orang di 9 negara per 4 September 2023 berdasarkan data GISAID.
Ahli virologi dari Johns Hopkins University, Andrew Pekosz mengatakan bahwa tampaknya BA.2.86 masih keturunan Omicron BA.2.
“Hal yang penting dari BA.2.86 adalah ia punya banyak mutasi dibandingkan beberapa varian Omicron yang muncul 2 tahun terakhir ini,” kata Pekosz.
“Ini merupakan bentuk SARS-CoV-2 yang sangat bermutasi,” lanjutnya.
Ketika terjadi mutasi dapat memengaruhi seberapa menular suatu virus, merespons pengobatan dan keparahan seperti mengutip CDC.